web 2.0

Monday, June 14, 2010

Konsep Uang Dalam Islam

Dalam catatan saya sebelumnya sempat saya singgung mengenai konsep uang dalam islam. Sebagian, menganggap uang kertas itu mengandung riba dan haram. Saya akui jika menilik sejarah uang fiat, perjanjian bretton woods dan pasca pembatalannya, memang konsep ini sangat problematis. Namun itu semua sangat terkait dengan praktik fractional reserve banking dan interest (bunga). Permasalahan uang kertas akan selalu didasari oleh permasalahan keduanya. Maka, lantas kita serta merta tidak bisa menilai uang fiat itu haram. Atau banyak disebut karena nilai intrinsiknya lebih kecil dari nominalnya.

Apakah benar uang harus demikian dalam pandangan islam??

Dalam Al Ihya, Imam Ghazali menulis panjang lebar mengenai konsep moneter. Sangat bagus sekali karena diawali sejak adanya problem manusia dalam hal tukar menukar barang

Termasuk nikmat Allah Swt. Diciptakan dirham dan dinar. Dengan keduanya kehidupan menjadi lurus. Keduanya hanyalah dua barang tambang yang tidak ada manfaat pada bendanya, tapi makhluk perlu kepadanya sekiranya setiap manusia membutuhkan banyak barang yang berkaitan dengan makanan, pakaian, seluruh kebutuhannya. Terkadang dia tidak mempunyai apa yang tidak ia butuhkan. Seperti orang yang memiliki za’faran misalnya, dan ia membuuhkan unta untuk tunggangannya. Dan orang yang memiliki unta dapat saja tidak membutuhkannya dan membutuhkan za'faran sehingga terjadi pertukaran antar keduanya. Dan mau tidak mau dibutuhkan suatu ukuran untuk mengukur pertukaran karena pemilik unta tidak menyerahkan untanya dengan seluruh ukuran za’faran. Dan tidak ada kesesuaian antara za’faran dan unta sehingga dapat dikatakan dia menyerahkan misalnya, dalam berat dan bentuk. Tidak tahu seberapa banyak za’faran yang menyamai seekor unta, sehingga transaksi mengalami kesulitan. Barang-barang yang beragam dan sangat berbeda ini membutuhkan penengah yang bertindak seperti pemutus yang adil sehingga setiap sesuatu dapat diketahui tingkat dan nilainya. Transaksi barter seperti ini sangat sulit. Barang-barang seperti ini memerlukan media yang dapat menentukan nilai tukarnya secara adil. Bila tempat dan kelasnya dapat diketahui dengan pasti, menjadi mungkin untuk menentukan mana barang yang memiliki nilai yang sama dan mana yang tidak. Maka Allah ciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penengah di antara seluruh harta sehingga dengan keduanya semua harta dapat diukur. Sesuatu (seperti uang) dapat dengan pasti dikaitkan dengan sesuatu yang lain jika sesuatu itu tidak memiliki bentuk atau fitur khususnya sendiri—contohnya cermin tidak memiliki warna tetapi dapat memantulkan semua warna.

Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penengah di antara seluruh harta sehingga seluruh harta bisa diukur dengan keduanya. Dikatakan, unta ini menyamai 100 dinar, sekian ukuran minyak za’faran ini menyamai 100. Keduanya kira-kira sama dengan satu ukuran maka keduanya bernilai sama. Namun, dinar dan dirham itu tidak dibutuhkan semata-mata karena “logamnya”. Dinar dan Dirham diciptakan untuk dipertukarkan dan untuk membuat aturan pertukaran yang adil dan untuk membeli barang-barang yang memiliki kegunaan.

(Al Ghazali, Ihya Ulumuddin)


Imam Ghazali menggambarkan problematika barter dan mengapa 'uang' itu dibutuhkan. Imam ghazali menjelaskan bahwa uang tidak mempunyai harga, namun sekedar merefleksikan harga (seperti cermin). Seluruh barang dan jasa bisa diukur dengan uang. Beliau menjelaskan uang yang berfungsi sebagai satuan nilai. Uang tidak diinginkan karena uang itu sendiri. Maksudnya, demand atas uang tidak disebabkan karena dzat (emas, perak atau bahan lain) yang terkandung di dalamnya namun kebutuhan akannya sebagai alat tukar. Artinya dalam konsep islam, uang BUKANLAH komoditi. kendati ada dinar dan dirham yang komposisinya dari logam mulia Namun, kebutuhan akan dinar dan dirham bukanlah dikarenakan zat emas dan perak di dalamnya akan tetapi kebutuhan untuk menggunakannya sebagai alat tukar yang adil.

Secara implisit, dalam konsep islam itu sendiri pada dasarnya tidak ada masalah dengan bahan pembuat mata uang karena konsep uang dalam islam bukanlah komoditi.

Hikmah dari konsep uang yang begitu bagus ini adalah menghindarkan masyarakat untuk memiliki kebutuhan akan uang secara dzatnya. Jika uang dibutuhkan secara dzatnya maka akan terjadi peleburan dinar, dirham menjadi perhiasan atau benda lain yang itu merupakan kedzoliman karena menghilangkan uang dari peredaran yang pada akhirnya akan menaikkan harga barang barang (inflasi). Ini dikecam oleh imam ghazali dan menganggap ini adalah suatu kejahatan. Demikian pula paradigma uang sebagai komoditas. Jika uang dianggap komoditas, maka akan terjadi perdagangan uang. Ini juga kedzoliman karena menyimpangkan fungsi uang dari asalnya.

Berikut juga pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah dalam Majmu Fatawa,

Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai harga, yaitu uang) dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang (mi’yar al-amwal) yang dengannya jumlah nilai barang-barang (maqadir al-amwal) dapat diketahui; dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.

Imam Ghazali juga dapat menerima konsep uang yang sama sekali tidak mengandung emas, perak selama itu adalah alat tukar yang resmi dari negara,

Zaif (suasa, logam campuran), maksudnya adalah unit uang yang sama sekali tidak mengandung perak; hanya polesan; atau dinar yang tidak mengandung emas. Jika sekeping koin mengandung sejumlah perak tertentu, tetapi dicampur dengan tembaga, dan itu merupakan koin resmi dalam Negara tersebut, maka hal ini dapat diterima, baik muatan peraknya diketahui ataupun tidak. Namun, jika koin itu tidak resmi, koin itu dapat diterima hanya jika muatan peraknya diketahui.

Suatu pandangan yang menarik dari Ibnu Taymiyah,

Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka.

Lihat, syaikhul islam menyatakan untuk uang yang bukan emas dan perak bisa dicetak asal sesusi dengan nilai yang adil dan proporsional atas dasar transaksi masyarakat. Jadi, uang kertaspun sama sekali boleh dicetak kendati tidak diback-up oleh emas namun menurut proporsi yang adil sesuai dengan nilai produksi masyarakat.


Sampai di sini, saya sampaikan kembali bahwa konsep mata uang dalam islam memang sedikit berbeda dengan konsep konvensional dimana:
- Uang berfungsi sebagai media pertukaran (medium of exchange)
- Uang sebagai satuan nilai dan ukur (currency unit)

Uang dalam konsep islam bukanlah komoditas. kendati dinar dan dirham mempunyai bahan pembuat emas dan perak, namun ketika menjadi uang maka demand atas mereka bukan kepada dzat emas dan peraknya namun pada satuan nilainya. Kebutuhan akan dinar sebagai mata uang bukan kebutuhan akan 4,25 gram emasnya tetapi pada '1 dinar'-nya.

Maka, secara implisit konsep uang kertas baik representatif (representatif emas/ diback-up emas) atau bahkan tidak di-backup oleh emas sekalipun tetap bisa diterima.

Allahu 'alam



note:
diolah dari banyak sekali sumber (males nyebutin atu atu :P)

0 comments:

Post a Comment

Post a Comment